Minggu, 30 Juli 2017

Konservasi Arsitektur

KONSERVASI ARSITEKTUR

RUMAH SI PITUNG - KAMPUNG MARUNDA, JAKARTA


1.  IDENTITAS
1.1    Nama Sekarang                   : Rumah Si Pitung
1.2    Nama Dahulu                       : Rumah Si Pitung
1.3    Alamat                                  : Jl. Kampung Marunda Pulo, RT.02 / RW.07,
Marunda, Cilincing, Marunda, Cilincing, Kota Jakarta Utara, Daerah Khusus  Ibukota Jakarta 14150
1.3.1         Kelurahan                  : Marunda
1.3.2         Keacamatan               : Cilincing
1.3.3         Kota                            : Jakarta Utara
1.3.4         Provinsi                      : DKI Jakarta
1.4    Koordinat/UTM                   : 6°05’49.02”S 106.57’32’49°E
1.5    Batas – Batas                                   
1.5.1         Utara                          : Permukiman
1.5.2         Timur                         : Permukiman
1.5.3         Selatan                        : Pantai Marunda
1.5.4         Barat                          : Permukiman
1.6    Status Kepemilikan              : Tanah Milik Warga Luar Batang
1.7    Pengelola                               : Jl. Kampung Marunda Pulo, RT.02 / RW.07,
Marunda, Cilincing, RT.2/RW.7, Marunda, Cilincing, Kota Jkt Utara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 14150
1.8    Fungsi Sekarang                  : Bangunan Cagar Budaya

2.  DESKRIPSI
     2.1   Uraian Fisik Objek
          2.1.1         Gaya/ Langgam
Gambar 2.1 Rumah Si Pitung
Sumber : https://services.sportourism.id/fileload/rumah-si-pitung-di-marundajpg-hMks.jpg?q=75

Gambar diatas adalah gambar bangunan cagar budaya Rumah Si Pitung. Meskipun legenda Si Pitung berasal dari tanah Betawi tapi rumah yang dikenal sebagai Rumah Si Pitung ini tidak menyerupai rumah adat Betawi melainkan rumah panggung dengan gaya arsitektur Bugis, yang sesuai dengan kondisi wilayah pesisir Jakarta yang sering dilanda rob akibat air laut pasang. Rumah Si Pitung hanya berjarak sekitar 50 meter dari bibir pantai, oleh karenanya rumah ini mengusung tema rumah panggung.

2.1.2         Tapak/Block Plan

Gambar 2.2 Lokasi Tapak Rumah Si Pitung
Sumber : Google Maps

Susunan masa bangunan Rumah Si Pitung ialah tunggal, dengan luas ± 700 m2 dan halaman serta jalan sirkulasi frontal langsung ke bangunan.

2.1.3        
Wujud/Bentuk Bangunan


Gambar 2.3 Bentuk Bangunan Rumah Si Pitung
Sumber : https://services.sportourism.id/fileload/rumah-si-pitung-di-marundajpg-hMks.jpg?q=75

Seperti gambar di atas Rumah Si Pitung berbentuk rumah panggung dengan gaya arsitektur Bugis. Gaya arsitektur rumah panggung ini sesuai dengan lokasi rumah yang hanya berjarak 50 meter dari bibir pantai, sehingga berpotensi terkena ombak besar atau banjir rob. Dari sumber yang mengatakan bahwa rumah ini dirampok Pitung pada tahun 1883, rumah ini diperkirakan berdiri pada abad 19. Rumah panggung sepanjang 15 meter, lebar 5 meter dengan tinggi 2 meter ini ditopang oleh 40 buah tiang setinggi 2 meter, sehingga penduduk menyebutnya sebagai Rumah Tinggi. Rumah ini dilengkapi dengan dua buah beranda, masing-masing di sisi depan dan belakang rumah yang dilengkapi tangga setinggi 1,5 meter. Rumah ini memiliki empat buah pintu dan sepuluh buah jendela.
Atapnya berbentuk pelana, dan struktur atap rumah tipe gudang tersebut tersusun dari kerangka kuda-kuda. Dan memiliki perisai yang ditambahkan oleh satu elemen struktur atap, yaitu jure.

2.1.4        Uraian Interior

 
Gambar 2.4 Interior Serambi Depan
   Sumber : http://www.f3ri.net/2014/10/rumah-si-pitung-jagoan-betawi.html

    Bagian serambi depan, terdapat beranda  yang si sisi kiri berisikan 4 buah kursi dan 1 buah meja bundar, diatasnya terdapat sisa sisa bekas makanan jaman dulu dalam sebuah toples yang terbungkus kertas minyak kemudian di sisi kananya terdapat sebuah patung dengan sabuk khas orang betawi beserta peci dan kain sarung.

Gambar 2.5 Interior Ruang Tamu
Sumber : http://www.f3ri.net/2014/10/rumah-si-pitung-jagoan-betawi.html

Selanjutnya, adalah ruang tamu layaknya sebuah ruang tamu dalam sebuah rumah dilengkapi dengan kursi tua dengan 2 buah lubang udara di sisi kanan dan kiri dinding pembatas, serta lukisan yang pengantin betawi, panjang dan lebar dari ruangan ini sama seperti beranda depan pada ruang pertama.

Gambar 2.6 Interior Kamar Tidur
Sumber : http://www.f3ri.net/2014/10/rumah-si-pitung-jagoan-betawi.html

Pada bagian kamar tidur, nampak sebuah meja rias dengan kaca bulat besar beserta kursi, lalu sisi sebelah kanan bersebelahan dengan sebuah jendela ada  sebuah dipan atau tempat tidur lengkap dengan kelambu, serta tikar pandan.

Gambar 2.7 Interior Dapur
Sumber : http://www.f3ri.net/2014/10/rumah-si-pitung-jagoan-betawi.html

   Unsur material interior yang ada pada bangunan Rumah si Pitung ini hampir seluruhnya menggunakan kayu jati. Misalnya pada bagian lantai dan dinding menggunakan papan kayu jati dengan finishing di cat warna merah marun.

2.1.5         Struktur dan Konstruksi

Gambar 2.8 Struktur Rumah Si Pitung
Sumber : http://www.f3ri.net/2014/10/rumah-si-pitung-jagoan-betawi.html

Struktur pondasi pada bangunan Rumah Si Pitung ini menggunakan umpak dengan tiang bermaterial kayu sebagai penopang berjumlah 40 buah dan tinggi 2 meter. Selain itu pada bagian atap seperti balok, kolom, dan siku penopang atap juga menggunakan material kayu.

2.2    Ukuran (Ukuran Tapak dan Bangunan)

Gambar 2.9 Peta Rumah Si Pitung
Sumber : Google Maps

2.3   Kondisi Saat Ini
2.3.1         Kondisi Lingkungan (Saat Ini)
Kelurahan Marunda memiliki fungsi utama sebagai tempat hunian bagi masyarakat nelayan, karena letaknya berada di pesisir pantai yang sangat terbuka. Berdasarkan data yang di himpun sampai saat ini, masyarakat Marunda sebagian besar hidup sebagai pencari ikan atau sebagai nelayan.

2.3.2         Kondisi Keterawatan Secara Umum
Kondisi keterawatan Rumah si Pitung sampai saat ini masih terawat dengan baik sehingga masih banyaknya pengunjung untuk melakukan wisata,

2.3.3         Kondisi Keterancaman
Fasilitas pengunjung seperti akses jalan menuju Rumah si Pitung kurang memadai terutama untuk lebar jalan hanya 4 meter dan kondisi aspal yang terkikis akibat genangan genangan air. Selain itu objek bangunan ini tidak memiliki lahan parkir hal ini akan menjadikan wisatawan enggan berkunjung.

2.3.4      Perubahan Fungsi dan Bentuk
           Pada November 2012 lalu, rumah Si Pitung itu direnovasi oleh Dinas Kebudayaan Jakarta Utara. Namun, renovasi yang menghabiskan Rp 2,1 miliar itu hanya pada bangunan lain dan halaman serta gerbang atau pagar yang ada di sekeliling rumah Si Pitung saja.

2.4  Sejarah
2.4.1         Sejarah Kawasan/Lokasi
Rumah Si Pitung adalah obyek wisata sejarah dan budaya yang terletak di Marunda Pulo, Cilincing, Jakarta Utara. Rumah yang terletak di lahan seluas 700 meter persegi ini sebenarnya bukan rumah kelahiran atau milik keluarga Si Pitung, melainkan milik Haji Syafiuddin, seorang pengusaha “sero” yang menurut masyarakat setempat pernah dirampok oleh Pitung, jawara Betawi yang terkenal akan perjuangannya melawan ketidakadilan penguasa Hindia Belanda di Betawi, dengan merampok orang-orang kaya dan membagikan hasil rampokannya kepada rakyat miskin. Berdasarkan peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 9 tahun 1999, rumah ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

2.4.2       Sejarah Arsitektur
     Rumah panggung sepanjang 15 meter, lebar 5 meter dengan tinggi 2 meter ini ditopang oleh 40 buah tiang setinggi 2 meter, sehingga penduduk menyebutnya sebagai Rumah Tinggi. Rumah ini dilengkapi dengan dua buah beranda, masing-masing di sisi depan dan belakang rumah yang dilengkapi tangga setinggi 1,5 meter. Rumah ini memiliki empat buah pintu dan sepuluh buah jendela.
    Saat ini di dalam Rumah Si Pitung terdapat beberapa perabot khas Betawi, seperti kursi tamu, tempat tidur, meja rias, permainan congklak, dan peralatan dapur. Sebagian perabot kuno ini bukan berasal dari interior asli rumah, melainkan sumbangan dari berbagai pihak. Di dinding rumah terdapat panel yang menceritakan kisah Si Pitung, yang diambil dari artikel “Si Pitung, Perampok atau Pemberontak?” yang ditulis Ridwan Saidi dan dimuat di Majalah Tani pada tahun 2009. Rumah ini pernah direnovasi beberapa kali. Renovasi pertama dilakukan pada tahun 1972, dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya. Beberapa penggantian yang dilakukan pada renovasi ini adalah perubahan interior rumah dari semula memiliki 3 kamar menjadi tinggal 1 kamar, penggantian lantai bambu menjadi lantai kayu jati, dan pengecatan dinding kayu rumah dengan warna merah delima. Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 2010, dengan penambahan panggung beton setinggi 50 cm, untuk memastikan rumah ini tidak terendam banjir saat air pasang menggenangi pekarangan dan kolong rumah.

2.4.3         Sejarah Peristiwa
     Bangunan ini adalah Bangunan Cagar Budaya yang pada tahun 1972 diambil alih pengelolaannya oleh Pemda DKI Jakarta.
     Agar tak terkikis oleh zaman, Rumah Si Pitung sudah beberapa kali direnovasi terutama pada bagian pondasinya. Kondisi bangunan tidak lagi orisinil hanya saja secara model masih sama. Benda-benda yang dipamerkan adalah replika, karena yang aslinya sudah termakan usia.

2.5   Riwayat Pelestarian
2.5.1         Sudah/Belum
      Rumah si Pitung ini sudah dilakukan upaya pelestarian berdasarkan Perda DKI Jakarta Nomor 9 Tahun 1999, di bawah naungan Unit Pengelola Museum Kebaharian Jakarta Dinas Pariwisata dan Budaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karena bangunan ini memiliki nilai sejarah bagi masyarakat Betawi.

2.5.2         Riwayat Status Penetapan
       No. Penetapan : Nasional
       Tanggal Penetapan : 1998-06-16 00:00:00.000
     Pengelola : Museum Kebaharian Jakarta Dinas Pariwisata dan Budaya Pemerintah  Provinsi DKI Jakarta
       Batas Barat : Rumah penduduk
       Batas Selatan : Empang
       Batas Timur : Empang
       Batas Utara : Teluk Jakarta

2.5   Sumber

Selasa, 17 Januari 2017

KRITIK ARSITEKTUR

 I
MATERI KRITIK

KRITIK DESKRIPTIF

1.1.    Definisi Kritik Deskriptif

Bersifat tidak menilai, tidak menafsirkan, atau semata-mata membantu orang melihat apa yang sesungguhnya ada. Kritik ini berusaha mencirikan fakta-fakta yang menyangkut sesuatu lingkungan tertentu. Dibanding metode kritik lain kritik deskriptif tampak lebih nyata (faktual).
  • Deskriptif mencatat fakta-fakta pengalaman seseorang terhadap bangunan atau kota.
  • Lebih bertujuan pada kenyataan bahwa jika kita tahu apa yang sesungguhnya suatu kejadian dan proses kejadiannya maka kita dapat lebih memahami makna bangunan.
  • Lebih dipahami sebagai sebuah landasan untuk memahami bangunan melalui berbagai unsur bentuk yang ditampilkannya.
  • Tidak dipandang sebagai bentuk to judge atau to interprete. Tetapi sekadar metode untuk melihat bangunan sebagaimana apa adanya dan apa yang terjadi di dalamnya.

1.2.  Jenis Metode Kritik Deskriptif

1.   Depictive Criticism (Gambaran Bangunan)
Depictive criticism tidak dapat disebut kritik sepenuhnya karena tidak menggunakan pertanyaan baik atau buruk. Kritik ini focus pada bagian bentuk, material, serta teksture. Depictive criticism pada sebuah bangunan jarang digunakan karena tidak menciptakan sesuatu yang kontroversial, dan dikarenakan cara membawakan verbal mengenai fenomena fisik jarang provocative atau seductive, menahan keinginan pembaca untuk tetap memperhatikan. Depictive criticism ini di bagi menjadi tiga bagian yaitu :
  • Static (secara grafis)
Merupakan metode pengamatan berdasarkan fisik bangunan atau kota dilihat dari satu sudut pandang saja. Atau dapat dikatakan kondisi pengamat berada pada posisi diam
  •  Dynamic (secara verbal)
Merupakan metode pengamatan berdasarkan fisik bangunan atau kota dilihat dari seluruh sisi bangunan. Atau dapat dikatakan kondisi pengamat berada pada posisi bergerak mengelilingi bangunan atau kota yang dikritik.
  • Process (secara procedural)
Merupakan metode pengamatan berdasarkan fisik bangunan atau kota dilihat dari proses awal memasuki bangunan, mencapai bagian dalam bangunan, dan akhirnya proses akhir keluar bangunan.

1.   Biographical Criticism (Riwayat Hidup)
Kritik yang hanya mencurahkan perhatiannya pada sang artist (penciptanya), khususnya aktifitas yang telah dilakukannya. Memahami dengan logis perkembangan sang artis sangat diperlukan untuk memisahkan perhatian kita terhadap intensitasnya pada karya-karyanya secara spesifik.
2.   Contextual Criticism ( Persitiwa)
Untuk memberikan lebih ketelitian untuk lebih mengerti suatu bangunan, diperlukan beragam informasi dekriptif, informasi seperti aspek-aspek tentang sosial, political, dan ekonomi konteks bangunan yang telah didesain. kebanyakan kritikus tidak mengetahui rahasia informasi mengenai faktor yang mempengaruhi proses desain kecuali mereka pribadi terlibat. Dalam kasus lain, ketika kritikus memiliki beberapa akses ke informasi, mereka tidak mampu untuk menerbitkannya karena takut tindakan hukum terhadap mereka. Tetapi informasi yang tidak controversial tentang konteks suatu desain suatu bangunan terkadang tersedia.

1.3.   Prinsip Kritik Deskriptif
Memusatkan diri pada masalah actual, masa sekarang atau masa yang sedang terjadi. Data yang disusun kemudian di tafsirkan dan di analisis. Variable yang diteliti bisa tunggal atau lebih dari satu variable bahkan bisa juga mendeskripsikan beberapa variable.
1.4.  Keuntungan dan Kerugian Kritik Deskriptif
Kelebihan Kritik Deskriptif :
Dengan kritik deskriptif kita bisa mengetahui suatu karya hingga ke seluk beluknya. Metode dari deskriptif ini dapat di kritisi secara induktif, dari hal yang umum ke khusus ataupun deduktif dari hal yang khusus ke umum. 
Metode kritik ini tidak bertujuan untuk pengembangan karya selanjutnya seperti metode impresionis yang menggunakan hasil kritik untuk karya selanjutnya.
Kekurangan Kritik Deskriptif :
Hanya menjelaskan secara singkat tentang isi, proses, dan pencipta sebuah karya.

II
KRITIK ARSITEKTUR
(MASJID AGUNG AT-TIN – JAKARTA)



Lokasi          : Jalan Raya Taman Mini Pintu 1 Taman Mini Kelurahan
Pinang Ranti, Makasar, Jakarta Timur 13560
Fungsi          : Tempat Ibadah
Dibangun    : April 1997 - selesai November 1999
Luas             : 70.000 m2
Kapasitas    : 9.000 di dalam masjid & 1.850 di selasar tertutup dan plaza
Nama At-Tin diambil dari salah satu surah dalam Al-Quran yang merupakan wahyu ke-27 yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, atau surah ke-95 dalam urutan penulisan Al-Qur‘an. Nama surah itu adalah At-Tin yang berarti sejenis buah yang sangat manis, lezat, dan penuh gizi. Buah ini dipercayai mempunyai manfaat yang banyak, baik sebelum matang maupun sesudahnya.
Selain diinspirasi dari surah Al-Qur‘an, pemberian nama At-Tin sebenarnya juga merupakan upaya untuk mengenang jasa-jasa istri mantan Presiden Soeharto yang bernama Ibu Tien atau lengkapnya Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto. Memang, pendirian Masjid At-Tin sejak awal merupakan usaha anak-cucu Presiden Soeharto untuk mengenang ibu/nenek mereka. Pendirian masjid ini terlaksana berkat bantuan Yayasan Ibu Tien Soeharto yang merupakan yayasan milik anak-keturunan Ibu Tien Soeharto. Oleh karenanya, nama At-Tin tentu dimaksudkan sebagai doa dan perwujudan rasa cinta yang tulus dari anak/cucu kepada ibu/nenek mereka.

2.1.    Arsitektur Masjid Agung At-tin
Arsitektur Masjid At-Tin mempunyai keunikan dan kekhasan tersendiri, baik dari segi arsitektur bangunan, hiasan ornamen, maupun desain dalam dan luar ruangannya. Arsitek masjid ini adalah Fauzan Noe'man dan Ahmad Noe'man. Fauzan Noe'man merupakan anak dari Ahmad Noe'man.
Gaya arsitektur masjid ini berusaha menonjolkan lekukan bentuk anak panah pada dinding di hampir semua sudut dan ornamen yang menghiasinya. Lekukan anak panah ini terlihat secara jelas pada bagian muka masjid dari arah pintu masuk. Dengan begitu, wisatawan yang berkunjung ke masjid ini akan dapat melihat dengan leluasa lekukan-lekukan panah yang ditampilkan, sebelum memasuki ruang dalam masjid.

2.2.    Eksterior Masjid Agung At-tin
Pada bagian muka (sisi timur) masjid, terdapat taman luas dengan pepohonan rindang yang mengitari plaza berbentuk lingkaran yang terbuat dari marmer berwarna krem. Dari plaza menuju arah muka masjid, terdapat jalan yang terletak di kanan dan kiri plaza. Bagian muka masjid tersebut secara terinci menampilkan tiga lekukan anak panah yang bagian tengahnya didominasi dengan warna abu-abu. Motif yang ditampilkan pada lekukan berbentuk anak panah ini sepintas menyerupai tebaran bunga, karena dihiasi oleh sejumlah gambar bermotif bunga di tengahnya. Selain tiga lekukan berbentuk anak panah tersebut, juga terdapat dua lekukan anak panah lagi (ukurannya lebih kecil) pada sisi kanan dan kiri dinding masjid.
Selain itu juga tampak dari bagian muka masjid sebuah kubah utama yang diapit oleh empat kubah kecil. Pada bangunan kubah-kubah kecil ini juga dipenuhi lekukan berbentuk anak panah yang lebih tinggi dan runcing. Mencoloknya lekukan, konstruksi, dan ornamen yang berbentuk anak panah pada tiap bagian masjid ini memberikan gambaran bahwa rancang bangun masjid At-Tin didesain se-minimal mungkin untuk mengekspos elemen estetis terputus dengan mengedepankan gerakan geometris yang terus bersambung seperti yang tergambar dalam sudut masing-masing anak panah yang saling berhubungan. Bentuk anak panah ini memiliki makna agar umat manusia tidak pernah berhenti mensyukuri nikmat Allah—seperti terlukis dalam bentuk anak panah—mulai dari titik awal hingga titik akhir.




2.3.    Interior Masjid Agung At-tin
Kekhasan lain yang terdapat pada masjid ini adalah pintu masuk utama masjid yang terdiri dari dua dinding tanpa daun pintu. Pintu masuk ini juga berbentuk seperti anak panah. Setelah melewati pintu utama, pengunjung akan disuguhi kolam air mancur yang pada bagian pinggirnya dapat berfungsi sebagai tempat duduk para pengunjung. Kolam air mancur dengan keramik warna hijau muda ini juga berbentuk seperti anak panah. Dari arah pintu utama, pengunjung dengan mudah dapat menuju ke arah lantai dasar yang digunakan untuk ruang serbaguna, tempat wudu (pria/wanita), ruang mushaf, ruang rapat kecil, perpustakaan, ruang audiovisual, dan ruang internet. Selain ruang-ruang tertutup ini, area lantai dasar masjid ini dikelilingi teras terbuka di mana para pengunjung dapat dengan leluasa melihat ke arah taman.
Lantai dasar masjid ini dikelilingi oleh tangga-tangga sebagai jalan menuju ke arah lantai satu. Melalui pintu utama, para pengunjung dapat menggunakan dua tangga utama dan sebuah eskalator pada sisi kanan menuju lantai satu. Alternatif lainnya, pengunjung juga dapat menggunakan empat tangga lain yang terdapat di sudut kanan kiri masjid serta satu tangga di bagian belakang masjid.
Ruang utama untuk salat terletak di lantai satu. Di ruang ini tampak tujuh lekukan berbentuk anak panah dari keramik warna hijau tua pada bagian dindingnya. Bagian tengahnya difungsikan sebagai mihrab dan mimbar. Pada bagian sisi kanan dan kiri ruangan yang berhubungan dengan ruang teras samping ini dibatasi oleh penyekat kayu ukir yang setiap saat bisa dibongkar-pasang. Pengunjung yang berada di ruangan ini dapat melihat kerangka kubah dari dalam. Saat pengunjung mengamati bagian dalam kubah akan tampak lempengan baja tipis pada ketinggian tertentu dengan warna dasar hijau yang dikelilingi oleh kaca patri berwarna hijau-merah-kuning dan biru. Sehingga, saat matahari bersinar, cahaya yang masuk akan dipantulkan dan membentuk kombinasi warna yang mengagumkan.

2.4.    Kaligrafi
Berbeda dengan masjid pada umumnya, penggunaan ornamen kaligrafi dalam masjid ini sangat minim. Ornamen kaligrafi hanya nampak pada dinding bagian atas ruang salat utama (lantai satu) dan sepanjang dinding pada lekukan anak panah di area mihrab dan mimbar. Dengan menggunakan cat warna hijau muda, tampak tulisan ayat-ayat Al-Qur‘an mengitari dinding ruang salat utama yang juga bisa dilihat dari arah mezanin.

Secara umum, masjid At-Tin dikelilingi oleh koridor-koridor dengan atap yang dibentuk seperti anak panah. Koridor ini merupakan sarana bagi para pengunjung berjalan kaki menuju gedung utama masjid.
Selain itu, koridor ini juga sering digunakan untuk salat, saat jemaah tidak lagi tertampung di dalam masjid. Mungkin, tujuan lain dari pembuatan koridor ini juga untuk menghindari rusaknya taman akibat diinjak oleh pengunjung. Taman ini memang banyak ditumbuhi oleh berbagai jenis tanaman, seperti palm, tanaman merambat, dan rerumputan. Sekilas taman ini nampak seperti padang rumput yang terpetak-petak karena diberi jalur setapak bagi pejalan kaki. Di area rerumputan ini juga terdapat empat kolam air mancur berbentuk bunga mekar yang pada bagian dindingnya bisa difungsikan sebagai kran tempat wudu.
2.5.    Fasilitas Pendukung
Masjid At-Tin memiliki berbagai fasilitas pendukung seperti warung makan, ruang rekreasi/TV, ruang internet, perpustakaan, rumah dinas Imam Besar, mess muazin, rumah penjaga, ruang kegiatan, ruang kelas, dan lahan parkir yang dapat menampung 100 sepeda motor, 8 bus, dan 350 mobil. Di samping fasilitas-fasilitas pendukung, masjid ini juga sering menyelenggarakan kegiatan seperti diskusi tema khutbah sebelum salat jumat, kuliah Ahad Duha berbentuk cermah dan diskusi, pengajian tafsir Al-qur‘an (Tafsir Jalalain) setiap Minggu pagi (08.00—11.00 WIB), pengajian karyawan, seminar keagaman, tablig akbar, dan peringatan hari besar Islam.
2.6.    Kritik Terhadap Bangunan Masjid Agung At-tin
Ruang outdoor yang berada di depan Masjid, memiliki kesamaan fungsi dengan Pelataran rumah Jawa, yaitu sebagai peralihan antara ruang luar dan ruang dalam. Pada bagian lobby Masjid memiliki kesamaan dengan fungsi Pendopo sebagai ruang penyambut dan penerima tamu. Selain itu terdapat sebuah ruang yang meninggi dan digunakan pengunjung sebagai meeting point.
Gaya arsitektur pada bangunan Masjid ini penuh dengan ornamen,. Dalam islam sendiri, ornamen memiliki arti yang lebih dari hiasan semata. Ornamen yang ada pada Masjid Agung At-tin juga memiliki makna tersendiri, yang paling mencolok adalah bentuk ornamen tanda panah ke atas yang banyak terdapat di berbagai bagian Masjid ini, mengingatkan orang-orang yang mengunjungunya agar mengingat Yang “di Atas”, Tuhan Yang Maha Esa. Ornamen yang lain seperti pantulan cahaya pada langit-langit kubah. Motif yang banyak digunakan pada Masjid At-tin adalah motif yang menyerupai motif Arabesque. Secara Interior ruang utama masjid ini terkesan luas dengan tidak adanya kolom yang menghalangi di dalamnya. Kesn luas tanpa batas ini akhirnya juga memberikan suasana agung yang membuat pengunjung merasa kecil apabila di dalamnya.
Jadi, dengan ini saya menarik kesimpulan mengenai Kritik Arsitektur merupakan kegiatan dari ilmu menganalisa suatu bangunan yang disertai pemahaman dasar suatu bangunan berdasarkan fakta dan teori yang sudah ditetapkan. Sehingga aplikasi dalam kritik arsitektur ini memiliki landasan yang kuat dalam kritik Arsitektur.
III
DAFTAR PUSTAKA


“Contoh Kritik Deskriptif Arsitektur, Aldiiska, 2016” diunduh Januari, 2017

“Kritik Deskriptif Arsitektur, Andhika Rusmantara, 2014” diunduh Januari, 2017
<http://dhikarusmen.blogspot.co.id/2014/01/kritik-deskriptif-arsitektur.html>

Konservasi Arsitektur

KONSERVASI ARSITEKTUR ” RUMAH SI PITUNG - KAMPUNG MARUNDA, JAKARTA ” 1.   IDENTITAS 1.1     Nama Sekarang                   : Ru...